Jumat, 07 Desember 2012

Cerpen: Cinta Yang Menghitam



Semua samar
Bukan putih…semua hitam
Menghenyakku tak berjeda
Memburu nafas dalam suara nan pilu
Ceceran tangis telah menggerus keabadian cinta yang diagungkan
Bukan putih…semua hitam
Cinta yang telah menghitamkanku!

Kutatap serumpun bunga melati dari luar jendela. Aku terdiam seribu bahasa. Tidak terasa sembab mata tidak dapat kutahan. Aku menggigit bibir dengan kuat. Dua garis benda yang ada ditangan sudah cukup menghancurkan hidupku. Hanya semalam, semuanya telah memporak-porandakan hidupku. Kata cinta, dan impian bersama hanya bisikan semu. Tangisan tidak dapat merubah segalanya. Yang ada hanyalah kicauan burung murai yang memilukan. Dia telah pergi merenggut hidupku. Dan aku terlalu bodoh mempercayakan ketulusan ini padanya yang berkhianat.
“Nena” sapa lembut seseorang menepuk pundakku
“Oh, Lina”sambil mengusap butir air mata
“Sudah siap?”
“Aku tidak pernah siap untuk hal ini Lin, aku tidak dapat berpikir dengan jernih. Aku telah hitam. Apakah aku harus membuat warna hidupku bertambah pekat?”suaraku menjadi serak.
“Aku tidak memaksa, hanya jalan ini yang dapat aku berikan padamu Nena. Sebagai dokter kandungan, hal ini telah melanggar sumpahku. Hanya saja, karena kau sahabatku aku tawarkan aborsi ini dengan mengambil resiko yang besar terhadap karirku sendiri” dengan suara rendah, mengelus lembut pundak Nena
“Aku tahu maksud baikmu Lina, aku beruntung punya teman sebaik kamu. Aku sangat berhutang budi kepadamu” kataku masih terisak memilukan.
“Baiklah, sekarang aku beri kamu waktu 10 menit untuk mempersiapkan diri. Aku tunggu diruang operasi. Jika kau kesana aku akan melakukannya, namun jika kau tidak datang juga, kita sudahi saja. Rawatlah janin itu agar tetap hidup"kata Lina sambil beranjak meninggalkanku seorang diri di dalam ruangan serba putih dengan perasaan yang menghitam.
Aku bergetar, bayangan kejadian malam itu menyibak sadarku. Jelas sekali mencekat tenggerokkanku, aku tidak dapat bernafas sesaat. Aku geram dengannya, dan atas kebodohanku sendiri. Bujuk rayunya, belaian tangannya, dan desah nafasnya membuatku jijik. Terlebih dia melarikan diri setelah kuberitahu tamu bulananku tidak kunjung hadir. “Aku akan bertanggung jawab sayang. Tapi, tidak sekarang” elaknya waktu itu. Bohong! Lelaki itu bohong! Lelaki itu pengkhianat cinta. Setelah dia setubuhi aku, ia lalu mencampakkanku bagaikan sekuntum bunga  melati itu yang berguguran ditanah setelah ditiup angin yang kencang.
Waktuku tinggal 3 menit. Aku berdiri gontai dengan mata yang masih sembab. Air mataku telah kering. Yang masih basah hanya kemarahanku yang membara. Ku buka pintu, selangkah dua langkah ku percepat ayunan langkahku, aku berlari. Bukan ke ruang operasi, namun ke pintu keluar bangunan yang serba putih ini. “Cukup aku yang menghitam atas perbuatanku, janin ini tidak bersalah, ia putih. Aku yang menghitam akan merawat putih dengan sisa keberanianku untuk tetap hidup. Akan kujaga ia agar tetap putih. Aku tidak ingin ia menjadi merah, coklat, apalagi hitam” tekad bulat membahana di jiwaku.


Bisakah ???

Bening hujan telah bercampur dengan lumpur yang mencoklat
Tanah telah tergerus menjadi lumpur yang menghitam
Aku terhentak...
Sejenak aku kehilangan kata - kata
Apa benar cinta yang sebening hujan akan tetap bening walau ego untuk memiliki terus menggoda??
Apa benar cinta yang sesubur tanah tetap gembur walau rindu ini menggerogoti ingin diperlakukan serupa??

Bisakah?????