Rabu, 04 Agustus 2010

Nafas Dzikir Anissa

Udara siang begitu membakar setiap kulit manusia yang berada di bawah teriknya. Angin seperti bersekutu dengan tabiat sang matahari. Anginnya terasa panas membelai setiap kulit yang menantangnya. Tampak dua orang di bawah pohon berkeringat dingin menunggu sesuatu. Mereka berada tidak jauh dari sebuah Bank Sentral yang cukup terkenal. Dua orang itu berjeket kulit berwarna hitam dan coklat. Rambut gondrong mereka berantakan diterpa angin yang bertiup. Mereka duduk diatas sepeda motor Honda tahun 90- an yang mereka biarkan menyala.

“Hans, sudah lama kita menunggu nih. Mana orang yang kamu bilang itu?tanganku sudah gatal ingin menebaskan samurai ini ke lehernya.” kata laki-laki berjeket hitam kepada temannya sambil memperlihatkan samurai di balik sarung yang di pegangnya dari tadi.
“Sabar Syam, kita mesti sabar menunggu tambang emas kita. Sebentar lagi juga orang itu akan keluar dan kita akan melaksanakan aksi kita.hahaha.” jawab temannya itu dengan penuh ambisi.
“Iya, tapi lama sekali. Aku sudah bosan menunggu!” ucap Syamsul kesal

Tiba-tiba pintu Bank Sentral tersebut terbuka dan tampak seorang pria setengah baya membawa dua koper hitam yang nampak berat. Dia menuju parkiran yang sepi.

“Syam, kamu lihat orang yang baru keluar dengan dua koper tadi? nah, itu dia korban kita hari ini. Dia tambang emas kita, kita akan kaya!hahaha.” kata Hans mengebu-gebu.
“Ayo kita rampas secepatnya uang itu dari tangannya.” kata Syamsul garang.

Sepeda motor Honda tahun 90- an itu melaju kencang mendekati pria setengah baya tersebut. Syamsul turun dari kendaraan dan langsung menebaskan samurai ke udara.

“Apa yang kalian lakukan?cepat pergi!”teriak laki-laki itu ketakutan
“Hahaha…serahkan dua koper itu maka nyawamu kami ampuni!” gertak syamsyul geram
“Ti…ti…dak…aku tidak akan menyerahkan dua koper ini ke tanganmu. Ini adalah gaji karyawan yang di amanatkan kepadaku. Meskipun harus mati, aku tetap mempertahankannya.” sanggah laki-laki itu bertahan.
“Wah, besar juga nyalimu. Siap-siaplah menemui malaikat maut yang akan menjemputmu.” teriak syamsul seraya menebaskan samurai ke arah laki-laki itu.
“Hiaaa….ttt…rasakan ini.” katanya membara
“Ampuuuunnn….!” teriak laki-laki itu tegang dan pingsan sebelum terkena tebasan samurai.
“Hah…dasar pecundang. Belum kena, sudah pingsan!” remeh Syamsudin.
“Syam, ayo cepat orang-orang sudah mulai mendekat….ayo kita kabur!” aba-aba Hans tercekat dengan butiran keringat dingin di dahinya.
“Baiklah.” seraya mengambil dua koper yang tergeletak pasrah di samping laki-laki paruh baya yang pingsan tadi dan segera mungkin lari seribu kaki menuju sepeda motor sudah siap melaju bersama Hans di atasnya.
“Ayo Hans, kita pergi…!” aba-aba Syamsul yang sudah naik ke punggung sepeda motor.
“Baiklah…!akan ku tunjukkan kepadamu kalau aku pembalap sejati!hahaha.” sahut Hans girang.

Mereka melaju menembus angin yang semakin kuat menerpa tubuh mereka seiring bertambah kencang laju sepeda motor yang mereka kendarai. Mereka melajukan sepeda motor ke luar kabupaten Pangkalan Bun menuju kota Palangka Raya.
Di simpang jalan yang penuh semak belukar mereka turun dari sepeda motor yang mereka kendarai untuk melarikan diri. Mereka membuang sepeda motor Honda tahun 90-an itu ke semak belukar. Mereka ingin menghapus jejak dari kejaran polisi yang mengejar.
Syamsul dan Hans nampak lebih berwibawa dan rapi dengan jas dan kemeja yang mereka kenakan. Selain itu mereka juga memotong rambut dan kumis. Pakaian itu sengaja di bawa Hans di dalam ranselnya. Semua atribut saat melakukan aksi perampokan mereka hanyutkan ke sungai.

“Beres, sekarang tinggal kita bagi uang hasil kerja kita hari ini.hahaha.” kata Hans penuh bahagia.
“Ya, dan sekarang kita kaya sobat!” jawab Syamsul antusias.

Mereka pun membawa masing – masing satu koper. Lalu mereka menaiki bus yang untuk melanjutkan pejalanan ke kota Palangka Raya.
***
Tampak dari jauh, seorang ibu dengan seorang putrinya duduk di teras rumah sambil bersenda gurau. Wajah ibu itu tenang dan penuh kasih. Dia sedang menyisir rambut putri kesayangannya yang panjang dengan lembut. Sekali-kali Annisa, ibu yang penuh kasih itu bercerita tentang berbagai lelucon yang mendidik, dan meledaklah tawa Adinda, putri kesayangannya itu saat mendengar cerita bundanya yang sangat lucu.
Anissa merupakan ibu dan teman terdekat bagi Adinda, gadis berusia 9 tahun yang sejak kecil tidak dapat melihat indahnya dunia. Adinda bersekolah di SLBN 1 Jekan Raya. walaupun Adinda tuna netra namun dia merupakan mutiara hati Annisa yang bersinar. Adinda sangat pintar memainkan biola tua peninggalan almarhum kakeknya. Sudah banyak piala dan penghargaan yang di terima oleh gadis kecil itu dan Adinda selalu berkata saat moment bahagia itu berada di genggamannya “Piala ini untuk bunda yang Adinda sayang. Bunda yang selalu ada buat Adinda, mendukung dan menyemangati Adinda disegala keterbatasan yang Adinda miliki. Terima kasih bunda. Adinda sayang bunda.” Ucap bibir mungil itu tulus, dan tepuk tangan riuh terdengar ke seluruh ruangan mengiringi jatuhnya tetes air bening di sudut mata Anissa. Anissa benar-benar bersyukur kepada Allah yang telah memberinya seorang putri yang selalu membuatnya tersenyum di luar segala kekurangan yang Adinda miliki.

“Bunda, kapan ayah pulang?”tanya Adinda membuyarkan lamunan indah Annisa tentang hari istimewa kemarin.
“Hah…apa sayang? maaf tadi bunda melamun.”kata Annisa terjaga dari lamunannya.
“Ih bunda….!” rajuk Adinda manja. “Itu lho bunda, Adinda tanya kapan ayah pulang?” ulangnya pura-pura merajuk.
“Bunda juga tidak tahu sayang. Sabar ya, mungkin ayah lagi sibuk dengan pekerjaannya”.jawab Anissa lembut.
“Ya… ayah kok begitu. Padahal Adinda ingin memperlihatkan piala yang Adinda peroleh kemarin. Adinda rindu sekali dengan Ayah. Walaupun Adinda tahu, ayah tidak sayang dengan Adinda”.kata Adinda lemah.
“Sabar ya sayang. Bunda yakin, ayah bukannya tidak sayang dengan Adinda.hanya….”kata-kata Anissa tergantung. Lamunannya kembali melayang pada kata-kata yang di lontarkan oleh suaminya beberapa waktu lalu “Dia bukan anakku! Dia anak yang tidak berguna.” kata suaminya seraya mencambukkan ikat pingang ke tubuh Anissa yang melindungi Adinda dengan punggungnya.” Istigfar mas…sebut nama Allah. Dia anak kita yang di titipkan Allah dengan Kuasa-Nya. Kita wajib mensyukuri pemberian-Nya, mas.” jawab Anissa dengan cucuran darah segar dari dahinya.
“Bunda kok diam? Adinda benar kan? Ayah memang tidak sayang dengan Adinda, buktinya ayah selalu bersikap kasar kepada Adinda dan bunda. Padahal Adinda sangat sayang dengan ayah. Apa salah Adinda?apa karena Adinda buta hingga Ayah tidak sayang dengan Adinda?”tanya Adinda dengan mata berkaca-kaca.
“Sudahlah sayang. Berhentilah menangis, bunda tidak ingin putri kesayangan bunda bersedih. Kan masih ada bunda yang sayang dengan Adinda.”kata Anissa dengan linangan air mata seraya memeluk hangat Adinda
“Bunda jangan menagis. Maafkan Adinda yang cengeng. Adinda malu dengan bunda yang selalu kuat dan tegar menghadapi kekurangan Adinda selama ini dengan ketawakallan kepada Allah. Maafkan Adinda bunda.” kata Adinda seraya meraba pipi Anissa yang basah dan mengusapnya perlahan dengan jari-jarinya.
“Jika Adinda bisa melihat. Adinda ingin melihat senyum bunda pertama kali saat membuka mata. Bunda jangan menagis ya. Demi Adinda!” pinta Adinda tersenyum di sela air bening yang jatuh dari mata indahnya.
“Oh putriku…Adinda benar-benar mutiara hati bunda. Ibu akan tersenyum untukmu sayang. Ya sudah, hari sudah mulai senja, mari kita masuk. Kita ambil air wudhu untuk sholat magrib.” kata Anissa seraya membimbing Adinda masuk kedalam rumah.
“Iya bunda.”
***
Tok….tok….tok…suara ketukan pintu terdengar kasar bertubi-tubi di jatuhkan ke arah daun pintu.
“Anissa!buka pintunya.” teriak Syamsul tidak sabar.
“Iya, tunggu sebentar.” jawab Anissa dari dalam tergesa-gesa.
“Cepat bego!” maki Syamsul geram.
“Mas sudah pulang.” seraya ingin mencium punggung tangan suaminya.
“Lama banget, ngapain saja sih dirumah?pasti sibuk mengurus anak yang tidak berguna itu”.geram Syamsul sambil menepis perlakuan sopan Anissa yang ingin mencium tangannya.
“Maafkan saya mas. Saya dan Adinda tadi ketiduran. Lagipula ini kan tengah malam mas, jadi wajar kalau kami sudah terlelap. Mohon mas tidak menyalahkan Adinda lagi. Dia tidak bersalah. Sayalah yang salah, karena tidak mendengar ketukan dan teriakkan mas tadi.” kata Anissa mencoba membela diri dengan halus.
“Akh, persetan!tutup mulutmu. Kamu selalu membela anak sialan itu. Aku capek. Aku mau tidur!” teriak Syamsul kasar.
“Maafkan saya mas.” jawab Anissa merunduk takut.

Malam meninggalkan singgahsananya dan berganti dengan sang mentari yang siap menyinari bumi dengan terangnya. Embun pagi bergelayut di ujung dedaunan dengan iringan nafas sang angin pagi yang berhembus lembut. Namun, nuansa damai tersebut sama sekali tidak dirasakan oleh seorang wanita berparas lembut di dalam sebuah rumah yang terbuat dari kayu ulin. Anissa gelisah, wajahnya yang lembut sekarang berselimut cemas bercampur takut.
Anissa mondar mandir tidak tenang. Tatapannya lurus bercampur murka, selurus jarum jam menunjuk angka jam kearah koper hitam dan sebotol minuman keras. “Dari mana mas Syamsudin mendapatkan uang sebanyak itu? dan….Astagfirullah sekarang mas syamsudin meminum minuman keras. Ya Allah selamatkan keluarga kami dari api neraka-Mu. Kami takut dengan murka-Mu Ya Allah!” ratap Anissa dalam hati.

“Mas, Anissa mau tanya?” tanya Anissa tegas dan serius.
“Mau Tanya apa?kerjaanmu ini selalu tanya-tanya. Aku capek tahu?” tanggap Syamsudin acuh dan kasar.
“Maafkan saya mas, tapi ini masalah yang serius. Saya ingin tanya, dari mana mas mendapatkan uang sebanyak itu?bukankah tiga hari yang lalu mas telepon baru saja di PHK dari perusahaan sawit, tempat mas berkerja dan…..tolong mas jelaskan tentang sebotol minuman keras yang mas bawa tadi malam!tolong mas, jangan ceburkan diri ke dalam jurang setan yang terkutuk, mas!” tanya Anissa bertubi-tubi dengan penuh kehati-hatian.
“Akh, jangan ikut campur dengan urusanku?Kerjaanmu itu hanya sholat, dan mengurus anak buta kesayanganmu itu!kalau aku merampok memangnya kenapa?kamu mau laporkan aku ke kantor polisi?silahkan, aku tidak takut.” teriak Syamsudin geram.
“Astagfirullah mas, sadar!Anissa benar-benar kecewa dengan apa yang mas lakukan. Merampok dan minum-minuman terlaknat itu merupakan perbuatan setan yang di murkai Allah. Mas harus segera bertobat dan menyerahkan diri kekantor polisi.” tegur Anissa terkejut.
“Omong kosong….tutup mulutmu!aku tidak mau mendengar dzikir dan petuahmu itu. Aku sudah muak.” maki Syamsudin seraya melayangkan tangan kekarnya ke pipi Anissa dengan keras dan bertubi-tubi kemudian mengambil botol minuman keras itu dan meneguknya dengan penuh nafsu.
Anissa jatuh ke lantai dengan lumuran darah segar yang mengucur dari hidung dan rahangnya. Anissa merintih kesakitan sambil membersihkan lumuran darah dengan jari-jari tangannya yang bergetar. Pipinya memerah dan memar. Adinda terjaga dari tidur saat mendengar jerit dan tangis bundanya yang pecah. Dengan tergagap Adinda mencoba mendekati arah suara rintihan bundanya yang terdengar sangat memilukan dengan tongkat kayu di tangannya.

“Bunda!...bunda kenapa?mengapa bunda menangis?” panik Adinda yang berhasil menemukan bundanya yang terisak kesakitan saat jemari kecil Adinda mendarat di pipi Anissa.
“Tidak apa-apa sayang.” tengap Anissa dengan mata yang sembab.
“Bunda bohong?!Adinda memcium bau darah dan merasakan air mata bunda dari indera Adinda.” sanggah Adinda kecewa.
“Hei anak sialan…!minggir kamu dari situ. atau kamu mau kena cambuk ikat pinggang ayah lagi hah?!jangan membelot dengan bundamu terus. Dasar anak manja.”teriak Syamsul sambil memegang ikat pinggang dengan kondisi setengah mabuk.
“Jangan kau sentuh Adinda seujung jaripun dengan tangan kotormu itu.” lindung Anissa cepat dengan sisa kekuatannya.
“Akh….. diam tolol!” dorong Syamsul kasar ke arah dinding.
“Allahu Akbar….!” jerit Anissa keras yang terbentur dinding rumah dengan lunglai.

Syamsul tidak memperdulikan rintihan Anissa yang terdengar memilukan. Kucuran darah segar kini keluar dari dahi Anissa yang kejatuhan sebuah figura kaca dari dinding rumah yang bergetar akibat tubrukan tubuhnya dengan keras tepat di atas kepalanya. Tangannya pun tertusuk pecahan kaca yang berserak tidak teratur di lantai.
Anissa benar-benar berada di kondisi tubuh paling kritis karena banyaknya darah dan tenaga yang terkuras. Pandangannya kabur dan seakan putaran waktu menjadi lambat berputar. Di sela hilangnya sedikit kesadaran. Anissa dengan sisa kekuatannya merangkak mendekati tubuh Adinda yang terkulai lemah tidak sadarkan diri dengan lumuran darah di sekujur tubuhnya setelah di hujani cambukan ikat pinggang Syamsul yang membabi buta.
Kesadaran Syamsul benar-benar hilang akibat air setan yang masuk ke tubuhnya. Mata hatinya telah tertutup dari rasa keperikemanusiaan dan cinta kasih. Syamsul kini telah berubah seperti manusia setan. Bengis, kasar, dan tidak berakal layaknya hewan.
Pintu didobrak dari luar rumah oleh segerombolan polisi dan warga setempat yang terkejut mendengar jeritan Anissa dan Adinda dari dalam rumah yang sangat memilukan, diiringi suara pukulan yang sangat keras dan bertubi-tubi. Polisi langsung menagkap Syamsul yang masih dalam pengaruh alkohol dengan cepat dan tangkas, sedangkan Anissa dan Adinda segera di larikan ke ruang UGD RSUD Dr. Doris Sylvanus untuk mendapatkan penanganan medis.
***

“Ya Allah terima kasih telah Engkau kirimkan seorang malaikat pendonor mata yang peduli di rumah sakit, disaat-saat terakhir hidupnya untuk Adinda. Limpahkanlah ganjaran surga-Mu kepadanya. Ya Allah, berikanlah kami perasaan takut kepada-Mu yang dapat mencegah kami dari maksiat. Janganlah Engkau jadikan dunia sebagai pokok kerisauan hati kami. Ampuni kami Ya Allah! dengan segala kerendahan hati hamba mohon Ya Allah, bukakanlah suami hamba pintu hidayah-Mu yang Maha mulia wahai dzat Yang Maha menjaga dan Maha berkuasa. Amin!” do’a Anissa setelah sholat tahajjud bersama Adinda dengan linangan air bening di sudut matanya.
“Bunda, besok kita jenguk ayah ya. Adinda rindu dengan ayah. Adinda ingin mengantarkan makanan untuk ayah dan memberi tahu ayah bahwa Adinda sudah dapat melihat.” pinta Adinda tulus.
“Insyaallah!Adinda benar-benar malaikat kecil bunda.” peluk Anissa hangat dan penuh kasih. Adinda tersenyum manis mendengar penuturannya bundanya yang lembut. Dia benar-benar sayang dengan bundanya. “Ya Allah terima kasih segala karunia-Mu atas mata ini, terimalah arwah sang malaikat pendonor yang telah Engkau panggil dengan rahmat-Mu, dan terima kasih telah kau ciptakan seorang wanita yang tegar dan lembut seperti bunda. Adinda sangat bersyukur atas karunia-Mu Ya Allah, wahai dzat yang memberi manfaat.” bisik hati Adinda tulus.

11 Oktober 2009

Laksana semesta kau membuatku terpesona
Mengalihkan semua indera yang ku punya
Diam seribu bahasa dan hanya hati yang dapat bersua....
Diriku terpesona dengan sebuah kesempurnan indah akhlakmu.…



Pagi menjelang siang. Jam telah menunjukkan jam 07.50 WIB. Segera kulangkahkan kaki masuk ke dalam mobil angkutan umum ayahku, sebelumnya ku lihat pakaian yang aku kenakan sekali lagi, meneliti dengan seksama bagaimana hasil dandananku selama 30 menit.”Perfect!” ponisku seraya tersenyum. Pakaianku hari ini agak berbeda dari hari biasa. Aku mengenakan seragam batik berwarna biru dan rok hitam polos, tidak lupa kaca mata minus membingkai mata indahku serta sepatu balet berwarna coklat menghiasi kakiku sekarang. Buku tebal berwarna hijau dan kartu peserta telah kumasukkan ke dalam tas selempang berwarna kream tergeletak pasrah mendampingiku. Penampilanku sungguh 100% seperti dosen yang ingin mengajar para mahasiswanya, Oh My God!

“Ma, do’akan Nurpah ya...supaya hari ini bisa juara.” pintaku tulus seraya berpamitan dengan mama.
“Iy, mama do’akan. Semoga Nurpah juara. Amin!” tanggap mama tersenyum.
“Mama memang baik!”pujiku sambil menciun punggung tangan dan kedua pipi beliau.
“Ayah, ngebut dong. Sebentar lagi Nurpah terlambat nih” panikku setelah duduk di dalam mobil.
“Iy, sabar. “ jawab ayah tanpa mengalihkan pandangan fokus ke jalan.

Aku kembali membolak-balikkan buku KTIR yang akan kupresentasikan hari ini dengan seksama demi membunuh rasa tidak sabaranku yang memuncak ke ubun-ubun. Tidak lama ayah menghentikan mobil angkutannya di depan auditorium PT. STAIN. Aku tersenyum lega. Segera ku berpamitan dengan ayah seraya minta do’a. Ayah mengamini pemintaanku dengan wajah bangga dan seyum ramahnya. “Aku tidak akan mengecewakanmu ayah!” janjiku dalam hati.
Ku langkahkan kaki dengan ringan menuju gedung auditorium bersama Mega Aldona Eeronika, teman sekaligu rivalku hari ini. Kami mengisi daftar hadir peserta di depan pintu gedung. Piagam dan peralatan tulis menjadi buah tangan yang kami peroleh saat melewati daftar hadir peserta. Aku sungguh bahagia.
Udara AC menyambut kedatangan kami saat melangkahkan kaki ke dalam gedung yang berarsitektur apik dan megah. Lagu-lagu islami mengalun merdu, mententramkan indera pendengaran kami. Aku dan mega sepakat duduk di deretan bangku di belakang juri.
Acara dimulai denggan sambutan para pelaksana lomba dan tokoh-tokoh pendukung acara ini terwujud. Mataku berekspedisi ke seluluh para peserta yang akan tampil dan sungguh aku terkagum. Semua berpakaian rapi dan nampak berwibawa. Di wajah mereka menyiratkan kecerdasan yang patut di acungi jempol. Nyaliku sedikit ciut, namun kecoba meyakinkan diri kalu aku juga layak untuk di perhitungkan.
Lomba pertama adalah lomba pidato 3 bahasa (Inggris, Indonesia, dan Arab) yang di ikuti oleh pelajar SMA/SMK/MA dan Mahasiswa/i se-Kota Palangka Raya. Semua peserta menyampaikan pidatonya dengan sangat memukau Indera visual dan audotorialku. Bahasa, materi, dan gaya penyampaian sungguh berbobot dan mencerahkan pemikiran. Aku yakin, kalau semua anak Indonesia berpikiran seperti mereka, maka Indonesia dapat maju dan sejajar dengan negara-negara lain yang telah maju di dunia.
Jam telah menunjukkan pukul 10.00 WIB. Pergantian lomba akan segera di lakukan. Panitia sibuk mengecek para peserta yang akan bersiap untuk tampil dalam lomba Karya Tulis Remaja (LKTIR) 3 bahasa (Inggris, Indonesia, dan Arab) yang di ikuti oleh pelajar SMA/SMK/MA dan Mahasiswa/i se-Kota Palangka Raya.
Mega membuyarkan rasa deg-degan ku dengan berbisik pelan ke telingaku, ”Nur, coba deh kamuu liat ke belakang kamu. Ada Risma dan Dwi Borneo lho?” aku terkejut dan segera mungkin menoleh kebelakang. Teryata benar, mereka adalah Risma Wardani dan Dwi Borneo, teman MTs ku dulu di MTsN-2. mereka tesentum dan membalas sapaanku dengan ramah. Tidak banyak yang berubah dari mereka berdua. Rame dan penuh canda. Sungguh pribadi yang menyenangkan Mereka bercerita panjang lebar tentang sekolah mereka sekarang. STM jurusan komputer, menjadi pilihan mereka selepas lulus dari MTsN-2.
”Kalian disini ikut lomba atau menemani teman yang ikut lomba?” tanyaku penasaran.
Mereka tertawa jahil.mencurigakan!seorang panitia menghampiri kami. Ia mengabsen kehadiran para peserta yang akan tampil. Aku mendapat kesempatan pertama yang akan maju mempresentasikan dan mempertahankan tesisku. Sesuatu yang menarik, sehingga jantungku berdebar tidak tenang. Ternyata Risma dan Dwi ikut dalam perlombaan ini.
”Dwi borneo dari STM, ada?” tanya panitia mengabsensi.
“Dia tidak hadir kak.” Serobot Dwi cepat di iringi tatapan penuh Tanya dariku dan tatapan penuh pengharapan agar aku membungkam mulutku untuk berbicaca bahwa orang yang di cari panitia absensi adalah DIRINYA.
“Ya sudah, kalu begitu, Dwi Borneo di diskualifikasi.” Kata kakak panitia seraya mengabsensi peserta lain di iringi desahan dan belaian tangan Dwi ke dadanya tanda kelegaan yang besar.
“Jadi, kamu ikut juga dalam lomba KTIR ini?tapi, kenapa kamu tadi berbohong?” selidikku.
“Aku belum selesai mengerjakan karyaku Nur, aku malas.” Akunya kemudian dengan seyum jahilnya.
“Dasar kamu ini.” Gerutuku sambil tertawa bersama.
“Apa kalian saja yang ikut LKTIR ini? Ada yang lain?”.
”Ada. Tapi cowok.Namanya Reza Wahyu Firdaus, anak XI listrik 2” kata Risma seraya menunjuk seorang cowok berkoko putih lengkap dengan celana coklat kain yang melekat di tubuhnya yang tengah menunduk duduk di deretan peserta laki-laki.
Aku terpana sejenak, lalu ku alihkan pandangan dengan maksud baik untuk mengajaknya bergabung dengan kami. Jujur aku adalah seorang yang suka berteman dengan siapa saja. Tapi....
”Wah...kalu dia, susah Nur ae. Orangnya tertutup dan alim banget. Mana mau dia gabung ke sini.“ Ungkap Risma jujur.
”memangnya kalu di sekolah orangnya seperti apa?“ tanyaku penasaran
"Iya Nur ae, dia kalau di sekolah dia itu pendiam dan sering ke musola. Yah gak mau dekat-dekat sama cewek lah. Padahal banyak yang suka sama dia loh.” kata Dwi serius.
”Wah, jangan-jangan dia...HOMO lage. Ih amit-amit.“ Gelidikku ngeri.
'’HUSSS...“ sentak Risma, Dwi, dan Mega bersamaan.
”Bukan begitu. Ada-ada aja kamu ini.“ tambah mega menegur khayalanku yang kurang realistis.
”Yah...siapa tahu. Aku kan hanya menduga-duga.” usahaku mencoba membela diri dari tatapan mereka bertiga yang tidak setuju dengan opiniku.
”Hm...kalau mau, kamu coba ajak dia. Nih aku punya nomor handphonenya tawar Risma dan Dwi tulus.
”Boleh juga...mana?” aku mulai mengetik deretan angka yang dibacakan oleh Dwi, lalu jari jemariku mulai mengetikderetan huruf yang penuh ajakan berniat tulus untuk berta’aruf dan bergabung dan ku tekan tombol KIRIM dengan lincah.
Selang beberapa menit kemudian handphoneku bergetar. Dan mataku mendapati nama REZA W.F. tetera di layar Motorola L6 ku. Ajakanku ditolak dengan halus! Kata-kata di SMSnya cukup singkat dan padat. Namun, tersirat bahasa kata yang di gunakan dengan sopan dan hati-hati. Walaupun sedikit kecewa, aku menatap kearahnya. Aku tersenyum simpul dan mendapat balasan yang serupa. Aku tidak bisa memaksa cowok polos itu. ”Dia cukup menarik!” pikirku jahil. Hormon pubertas memang kadang nakal.
”Kalau kamu bisa mendapatkan dia. Wah, kamu hebat Nur ae!” tantang Risma.
"Wah...kayak enggak kenal aku aja. Apa sih yang enggak. Aku kan cewek romantis.“kataku jahil di iringi tawa geli Mega melihat tingkahku.
“Aku dukung deh. Tapi, ntar kalau ada perkembangan lebih lanjut, kabari aku ya.“ Pinta Dwi semangat dan sedikit centil.
“Beres!“ kataku menanggapi.

Lomba KTIR sudah dimulai. Aku mempersiapkan mentalku sebaik mungkin. Namaku menggema keseluruh gedung megah aditorium STAIN saat di panggil untuk mempresentasikan karya Tulis Ilmiah yang ku ikut sertakan dalam lomba ini ”Membanngun Bangsa Dengan Belajar” itulah tesis yang mati-matian akan ku pertahankan di hadapan juri hari ini. Kulangkahkan kaki dengan sedikit gugup. Aku mencoba tersenyum santai didepan puluhan pasang mata yang menatapku, tidak terkecuali tiga orang dosen berpengalaman yang tepat berada di depanku yang menjadi juri terhomatku hari ini. Kritikan dan pujian keluar dari mulut para juri atas karya yang ku presentasikan. Tesisku benar-benar di uji pertahananya. Dengan mencoba tenang dan serealitis aku menjawab pertanyaan juri yang bertubi-tubi dan mencoba mengunci mulutku. Aku tetap kukuh atas jawabanku dan kulihat para juri sudah mulai menilai penampilanku tadi. Setelah mengucap salam, tepukan tangan membahana memenuhi ruangan. Aku kembali duduk dan meluruskan nafasku yang tadi sedikit tertahan akibat rasa gugupku. Wajahku merah padam, tapi hatiku tenang dan lega setelah tampil.
Satu persatu peserta mempresentasikan hasil karya ilmiahnya. Mega nampaknya membuat para juri terpukau dengan KIR tentang ”Pemanpaatan Ketepeng Cina Sebagai Pengawet Alami”, dan Risma tentang ’’Pemuda Di Era Globalisasi” yang mengundang banyak perhatian juri dengan pertanyaan yang bertubi-tubi.
Pera Mahasiswa/i tidak kalah menarik materi yang mereka presentasikan. Aku sedikit pesimis dengan karyaku. Tapi, ya sudahlah. Aku hanya dapat memasrahkan segalanya di tangan Allah semua keputusan yang terbaik. Tiba giliran Reza, memprsentasikan KTIRnya di hadapan juri. Nomor peserta 11, menarik perhatianku. Anak yang beruntung. Itu angka favoritku. Dia menyampaikan karyanya dengan santun dan hati-hati, tampak oleh indera visualku kegugupan menyelimutinya tap, aku kagum dengan usahanya yang cukup tenang dalam mempresentasikan dan menjawab pertanyaan juri. Karyanya bermuatan ”pergaulan para remaja sekarang menurut pandangan agama” cukup fantastic bagiku, karena di jaman yang mengglobal seperti sekarang jaramg ada remaja yang berpandangan kritis yang berlandaskan hukum agama yang hakiki. Aku benar-benar terpesona. Bukan karena jahirnya yang tampan tapi, karena ketampanan akhlaknya yang menarik hormon pubertasku bekerja. Dia sudah jadi magnet bagi hatiku._^
Pengumumanpun tiba. Jam telah menunjukkan pukul 12.20 WIB. Panitia memanggil para peserta yang beruntung menjadi sang juara. Mega menjadi juara pertama, aku juara ke 2 ,dan Risma juara ke 3 LKTIR Putri dan teryata cowok bernama Reza Wahyu Firdau yang sejak tadi menyita perhatianku menjadi juara 1 putra. ”Hm...boleh juga nih cowok. Nanti aku ininmengucapkan selamat deh.” kataku tulus membatin.
Aku setengah berlari menghampiri Reza, cowok itu tampak heran dengan tingkahku yang memanggil namanya dengan setengah berteriak. Dengan spontan ku ulurkan tanganku ke hadapannya dan mengucapkan ”selamat ya!” dengan tulus dan bersemangat. Dia malah tersenyum simpul seraya merapatkan tangannya ke dada dan membungkuk. ”terima kasih” katanya singkat seraya tersenyum dan berlalu pergi meninggalkanku. Perasaanku benar-benar campur aduk, antara kagum, kesal, dan bingung dengan sikap dan perilakuku sendiri. Teman-teman dan beberapa juri, serta panitia yang menyaksikan kejadian itu tersenyum dan malah ada yang tertawa gelak. Aku benar-benar malu. Bila di pikir secara logis , aku benar-benar tidak punya malu dan pikiran yang realistis atas tindakan yang barusan terjadi. Aku serang wanita berjilbab dari MAN Model di permalukan oleh akhlak mulia seorang laki-laki dari STM yang nyata-nyata pendidikan agamanya sedikit di banding sekolahku. Aku benar-benar kalah telak dan tidak dapat berkutik. ” Aku benci cowok yang bernama Reza Washyu Firdaus!” teriak batinku yang sedikit nyilu.
Sepanjang perjalanan menuju mesjid STAIN aku mengerutu. Mega menjadi pendengar setiaku yang tidak henti-hentinya tertawa oleh ekspresi kemarahan yang aku luapkan untuk Reza. Sesampainya aku di mesjid STAIN ku ambil air wudu yang menyejukkan hati dan pikiranku. Rumah Allah telah melenyapkan semua amarah yang membuat mata hatiku mati. Nuraniku benar-benar tercemar tadi dan terbasuh oleh butiran air yang ku usapkan ke bagian anggota wudu, menyentuh kulit dan meresap ke dalam hatiku yang tersembunyi di balik jeruji raga.
Seusai sholat, Mega di jemput. Aku berjalan sendiri menelusuri jalan di depan mesjid sampai akhirnya kak Bariah yang tadi mendapat juara 3 pidato menawarkan tumpangan sepeda motornya kepadaku. Dengan senang hati aku mengiyakan tawarannya. Diperjalanan handphoneku bergetar. Tertera nama cowok yang tadi sempat kubenci di layar Motorola L6 ku. Kubaca perlahan barisan kalimat yang berbaris rapi.

tDi aQ mlHtmU di mEsjid....Slmt atas kemenangan Qm!..thAnk’s atS ucPnmU tDi...

jari jemariku dengan lincah membalas SMS itu dengan deretan huruf yang lebih santun dari gerutuku ketika amarah mamatikan mata hatilu, melenyapkan nurani di kalbu. ”Dia teryata tidak seburuk yang aku pikirkan. Aku sudah su’uzon menuduhnya yang tidak-tidak. Aku akan memperbaiki pandanganku terhadapnya. Semoga ukhuah terjalin saat ini menjadi hubungan yang baik selamanya.” suara batinku seraya tersenyum tulus. Angin yang menerpa kulitku mengiyakan keputusanku.^_^