Rabu, 04 Agustus 2010

Nafas Dzikir Anissa

Udara siang begitu membakar setiap kulit manusia yang berada di bawah teriknya. Angin seperti bersekutu dengan tabiat sang matahari. Anginnya terasa panas membelai setiap kulit yang menantangnya. Tampak dua orang di bawah pohon berkeringat dingin menunggu sesuatu. Mereka berada tidak jauh dari sebuah Bank Sentral yang cukup terkenal. Dua orang itu berjeket kulit berwarna hitam dan coklat. Rambut gondrong mereka berantakan diterpa angin yang bertiup. Mereka duduk diatas sepeda motor Honda tahun 90- an yang mereka biarkan menyala.

“Hans, sudah lama kita menunggu nih. Mana orang yang kamu bilang itu?tanganku sudah gatal ingin menebaskan samurai ini ke lehernya.” kata laki-laki berjeket hitam kepada temannya sambil memperlihatkan samurai di balik sarung yang di pegangnya dari tadi.
“Sabar Syam, kita mesti sabar menunggu tambang emas kita. Sebentar lagi juga orang itu akan keluar dan kita akan melaksanakan aksi kita.hahaha.” jawab temannya itu dengan penuh ambisi.
“Iya, tapi lama sekali. Aku sudah bosan menunggu!” ucap Syamsul kesal

Tiba-tiba pintu Bank Sentral tersebut terbuka dan tampak seorang pria setengah baya membawa dua koper hitam yang nampak berat. Dia menuju parkiran yang sepi.

“Syam, kamu lihat orang yang baru keluar dengan dua koper tadi? nah, itu dia korban kita hari ini. Dia tambang emas kita, kita akan kaya!hahaha.” kata Hans mengebu-gebu.
“Ayo kita rampas secepatnya uang itu dari tangannya.” kata Syamsul garang.

Sepeda motor Honda tahun 90- an itu melaju kencang mendekati pria setengah baya tersebut. Syamsul turun dari kendaraan dan langsung menebaskan samurai ke udara.

“Apa yang kalian lakukan?cepat pergi!”teriak laki-laki itu ketakutan
“Hahaha…serahkan dua koper itu maka nyawamu kami ampuni!” gertak syamsyul geram
“Ti…ti…dak…aku tidak akan menyerahkan dua koper ini ke tanganmu. Ini adalah gaji karyawan yang di amanatkan kepadaku. Meskipun harus mati, aku tetap mempertahankannya.” sanggah laki-laki itu bertahan.
“Wah, besar juga nyalimu. Siap-siaplah menemui malaikat maut yang akan menjemputmu.” teriak syamsul seraya menebaskan samurai ke arah laki-laki itu.
“Hiaaa….ttt…rasakan ini.” katanya membara
“Ampuuuunnn….!” teriak laki-laki itu tegang dan pingsan sebelum terkena tebasan samurai.
“Hah…dasar pecundang. Belum kena, sudah pingsan!” remeh Syamsudin.
“Syam, ayo cepat orang-orang sudah mulai mendekat….ayo kita kabur!” aba-aba Hans tercekat dengan butiran keringat dingin di dahinya.
“Baiklah.” seraya mengambil dua koper yang tergeletak pasrah di samping laki-laki paruh baya yang pingsan tadi dan segera mungkin lari seribu kaki menuju sepeda motor sudah siap melaju bersama Hans di atasnya.
“Ayo Hans, kita pergi…!” aba-aba Syamsul yang sudah naik ke punggung sepeda motor.
“Baiklah…!akan ku tunjukkan kepadamu kalau aku pembalap sejati!hahaha.” sahut Hans girang.

Mereka melaju menembus angin yang semakin kuat menerpa tubuh mereka seiring bertambah kencang laju sepeda motor yang mereka kendarai. Mereka melajukan sepeda motor ke luar kabupaten Pangkalan Bun menuju kota Palangka Raya.
Di simpang jalan yang penuh semak belukar mereka turun dari sepeda motor yang mereka kendarai untuk melarikan diri. Mereka membuang sepeda motor Honda tahun 90-an itu ke semak belukar. Mereka ingin menghapus jejak dari kejaran polisi yang mengejar.
Syamsul dan Hans nampak lebih berwibawa dan rapi dengan jas dan kemeja yang mereka kenakan. Selain itu mereka juga memotong rambut dan kumis. Pakaian itu sengaja di bawa Hans di dalam ranselnya. Semua atribut saat melakukan aksi perampokan mereka hanyutkan ke sungai.

“Beres, sekarang tinggal kita bagi uang hasil kerja kita hari ini.hahaha.” kata Hans penuh bahagia.
“Ya, dan sekarang kita kaya sobat!” jawab Syamsul antusias.

Mereka pun membawa masing – masing satu koper. Lalu mereka menaiki bus yang untuk melanjutkan pejalanan ke kota Palangka Raya.
***
Tampak dari jauh, seorang ibu dengan seorang putrinya duduk di teras rumah sambil bersenda gurau. Wajah ibu itu tenang dan penuh kasih. Dia sedang menyisir rambut putri kesayangannya yang panjang dengan lembut. Sekali-kali Annisa, ibu yang penuh kasih itu bercerita tentang berbagai lelucon yang mendidik, dan meledaklah tawa Adinda, putri kesayangannya itu saat mendengar cerita bundanya yang sangat lucu.
Anissa merupakan ibu dan teman terdekat bagi Adinda, gadis berusia 9 tahun yang sejak kecil tidak dapat melihat indahnya dunia. Adinda bersekolah di SLBN 1 Jekan Raya. walaupun Adinda tuna netra namun dia merupakan mutiara hati Annisa yang bersinar. Adinda sangat pintar memainkan biola tua peninggalan almarhum kakeknya. Sudah banyak piala dan penghargaan yang di terima oleh gadis kecil itu dan Adinda selalu berkata saat moment bahagia itu berada di genggamannya “Piala ini untuk bunda yang Adinda sayang. Bunda yang selalu ada buat Adinda, mendukung dan menyemangati Adinda disegala keterbatasan yang Adinda miliki. Terima kasih bunda. Adinda sayang bunda.” Ucap bibir mungil itu tulus, dan tepuk tangan riuh terdengar ke seluruh ruangan mengiringi jatuhnya tetes air bening di sudut mata Anissa. Anissa benar-benar bersyukur kepada Allah yang telah memberinya seorang putri yang selalu membuatnya tersenyum di luar segala kekurangan yang Adinda miliki.

“Bunda, kapan ayah pulang?”tanya Adinda membuyarkan lamunan indah Annisa tentang hari istimewa kemarin.
“Hah…apa sayang? maaf tadi bunda melamun.”kata Annisa terjaga dari lamunannya.
“Ih bunda….!” rajuk Adinda manja. “Itu lho bunda, Adinda tanya kapan ayah pulang?” ulangnya pura-pura merajuk.
“Bunda juga tidak tahu sayang. Sabar ya, mungkin ayah lagi sibuk dengan pekerjaannya”.jawab Anissa lembut.
“Ya… ayah kok begitu. Padahal Adinda ingin memperlihatkan piala yang Adinda peroleh kemarin. Adinda rindu sekali dengan Ayah. Walaupun Adinda tahu, ayah tidak sayang dengan Adinda”.kata Adinda lemah.
“Sabar ya sayang. Bunda yakin, ayah bukannya tidak sayang dengan Adinda.hanya….”kata-kata Anissa tergantung. Lamunannya kembali melayang pada kata-kata yang di lontarkan oleh suaminya beberapa waktu lalu “Dia bukan anakku! Dia anak yang tidak berguna.” kata suaminya seraya mencambukkan ikat pingang ke tubuh Anissa yang melindungi Adinda dengan punggungnya.” Istigfar mas…sebut nama Allah. Dia anak kita yang di titipkan Allah dengan Kuasa-Nya. Kita wajib mensyukuri pemberian-Nya, mas.” jawab Anissa dengan cucuran darah segar dari dahinya.
“Bunda kok diam? Adinda benar kan? Ayah memang tidak sayang dengan Adinda, buktinya ayah selalu bersikap kasar kepada Adinda dan bunda. Padahal Adinda sangat sayang dengan ayah. Apa salah Adinda?apa karena Adinda buta hingga Ayah tidak sayang dengan Adinda?”tanya Adinda dengan mata berkaca-kaca.
“Sudahlah sayang. Berhentilah menangis, bunda tidak ingin putri kesayangan bunda bersedih. Kan masih ada bunda yang sayang dengan Adinda.”kata Anissa dengan linangan air mata seraya memeluk hangat Adinda
“Bunda jangan menagis. Maafkan Adinda yang cengeng. Adinda malu dengan bunda yang selalu kuat dan tegar menghadapi kekurangan Adinda selama ini dengan ketawakallan kepada Allah. Maafkan Adinda bunda.” kata Adinda seraya meraba pipi Anissa yang basah dan mengusapnya perlahan dengan jari-jarinya.
“Jika Adinda bisa melihat. Adinda ingin melihat senyum bunda pertama kali saat membuka mata. Bunda jangan menagis ya. Demi Adinda!” pinta Adinda tersenyum di sela air bening yang jatuh dari mata indahnya.
“Oh putriku…Adinda benar-benar mutiara hati bunda. Ibu akan tersenyum untukmu sayang. Ya sudah, hari sudah mulai senja, mari kita masuk. Kita ambil air wudhu untuk sholat magrib.” kata Anissa seraya membimbing Adinda masuk kedalam rumah.
“Iya bunda.”
***
Tok….tok….tok…suara ketukan pintu terdengar kasar bertubi-tubi di jatuhkan ke arah daun pintu.
“Anissa!buka pintunya.” teriak Syamsul tidak sabar.
“Iya, tunggu sebentar.” jawab Anissa dari dalam tergesa-gesa.
“Cepat bego!” maki Syamsul geram.
“Mas sudah pulang.” seraya ingin mencium punggung tangan suaminya.
“Lama banget, ngapain saja sih dirumah?pasti sibuk mengurus anak yang tidak berguna itu”.geram Syamsul sambil menepis perlakuan sopan Anissa yang ingin mencium tangannya.
“Maafkan saya mas. Saya dan Adinda tadi ketiduran. Lagipula ini kan tengah malam mas, jadi wajar kalau kami sudah terlelap. Mohon mas tidak menyalahkan Adinda lagi. Dia tidak bersalah. Sayalah yang salah, karena tidak mendengar ketukan dan teriakkan mas tadi.” kata Anissa mencoba membela diri dengan halus.
“Akh, persetan!tutup mulutmu. Kamu selalu membela anak sialan itu. Aku capek. Aku mau tidur!” teriak Syamsul kasar.
“Maafkan saya mas.” jawab Anissa merunduk takut.

Malam meninggalkan singgahsananya dan berganti dengan sang mentari yang siap menyinari bumi dengan terangnya. Embun pagi bergelayut di ujung dedaunan dengan iringan nafas sang angin pagi yang berhembus lembut. Namun, nuansa damai tersebut sama sekali tidak dirasakan oleh seorang wanita berparas lembut di dalam sebuah rumah yang terbuat dari kayu ulin. Anissa gelisah, wajahnya yang lembut sekarang berselimut cemas bercampur takut.
Anissa mondar mandir tidak tenang. Tatapannya lurus bercampur murka, selurus jarum jam menunjuk angka jam kearah koper hitam dan sebotol minuman keras. “Dari mana mas Syamsudin mendapatkan uang sebanyak itu? dan….Astagfirullah sekarang mas syamsudin meminum minuman keras. Ya Allah selamatkan keluarga kami dari api neraka-Mu. Kami takut dengan murka-Mu Ya Allah!” ratap Anissa dalam hati.

“Mas, Anissa mau tanya?” tanya Anissa tegas dan serius.
“Mau Tanya apa?kerjaanmu ini selalu tanya-tanya. Aku capek tahu?” tanggap Syamsudin acuh dan kasar.
“Maafkan saya mas, tapi ini masalah yang serius. Saya ingin tanya, dari mana mas mendapatkan uang sebanyak itu?bukankah tiga hari yang lalu mas telepon baru saja di PHK dari perusahaan sawit, tempat mas berkerja dan…..tolong mas jelaskan tentang sebotol minuman keras yang mas bawa tadi malam!tolong mas, jangan ceburkan diri ke dalam jurang setan yang terkutuk, mas!” tanya Anissa bertubi-tubi dengan penuh kehati-hatian.
“Akh, jangan ikut campur dengan urusanku?Kerjaanmu itu hanya sholat, dan mengurus anak buta kesayanganmu itu!kalau aku merampok memangnya kenapa?kamu mau laporkan aku ke kantor polisi?silahkan, aku tidak takut.” teriak Syamsudin geram.
“Astagfirullah mas, sadar!Anissa benar-benar kecewa dengan apa yang mas lakukan. Merampok dan minum-minuman terlaknat itu merupakan perbuatan setan yang di murkai Allah. Mas harus segera bertobat dan menyerahkan diri kekantor polisi.” tegur Anissa terkejut.
“Omong kosong….tutup mulutmu!aku tidak mau mendengar dzikir dan petuahmu itu. Aku sudah muak.” maki Syamsudin seraya melayangkan tangan kekarnya ke pipi Anissa dengan keras dan bertubi-tubi kemudian mengambil botol minuman keras itu dan meneguknya dengan penuh nafsu.
Anissa jatuh ke lantai dengan lumuran darah segar yang mengucur dari hidung dan rahangnya. Anissa merintih kesakitan sambil membersihkan lumuran darah dengan jari-jari tangannya yang bergetar. Pipinya memerah dan memar. Adinda terjaga dari tidur saat mendengar jerit dan tangis bundanya yang pecah. Dengan tergagap Adinda mencoba mendekati arah suara rintihan bundanya yang terdengar sangat memilukan dengan tongkat kayu di tangannya.

“Bunda!...bunda kenapa?mengapa bunda menangis?” panik Adinda yang berhasil menemukan bundanya yang terisak kesakitan saat jemari kecil Adinda mendarat di pipi Anissa.
“Tidak apa-apa sayang.” tengap Anissa dengan mata yang sembab.
“Bunda bohong?!Adinda memcium bau darah dan merasakan air mata bunda dari indera Adinda.” sanggah Adinda kecewa.
“Hei anak sialan…!minggir kamu dari situ. atau kamu mau kena cambuk ikat pinggang ayah lagi hah?!jangan membelot dengan bundamu terus. Dasar anak manja.”teriak Syamsul sambil memegang ikat pinggang dengan kondisi setengah mabuk.
“Jangan kau sentuh Adinda seujung jaripun dengan tangan kotormu itu.” lindung Anissa cepat dengan sisa kekuatannya.
“Akh….. diam tolol!” dorong Syamsul kasar ke arah dinding.
“Allahu Akbar….!” jerit Anissa keras yang terbentur dinding rumah dengan lunglai.

Syamsul tidak memperdulikan rintihan Anissa yang terdengar memilukan. Kucuran darah segar kini keluar dari dahi Anissa yang kejatuhan sebuah figura kaca dari dinding rumah yang bergetar akibat tubrukan tubuhnya dengan keras tepat di atas kepalanya. Tangannya pun tertusuk pecahan kaca yang berserak tidak teratur di lantai.
Anissa benar-benar berada di kondisi tubuh paling kritis karena banyaknya darah dan tenaga yang terkuras. Pandangannya kabur dan seakan putaran waktu menjadi lambat berputar. Di sela hilangnya sedikit kesadaran. Anissa dengan sisa kekuatannya merangkak mendekati tubuh Adinda yang terkulai lemah tidak sadarkan diri dengan lumuran darah di sekujur tubuhnya setelah di hujani cambukan ikat pinggang Syamsul yang membabi buta.
Kesadaran Syamsul benar-benar hilang akibat air setan yang masuk ke tubuhnya. Mata hatinya telah tertutup dari rasa keperikemanusiaan dan cinta kasih. Syamsul kini telah berubah seperti manusia setan. Bengis, kasar, dan tidak berakal layaknya hewan.
Pintu didobrak dari luar rumah oleh segerombolan polisi dan warga setempat yang terkejut mendengar jeritan Anissa dan Adinda dari dalam rumah yang sangat memilukan, diiringi suara pukulan yang sangat keras dan bertubi-tubi. Polisi langsung menagkap Syamsul yang masih dalam pengaruh alkohol dengan cepat dan tangkas, sedangkan Anissa dan Adinda segera di larikan ke ruang UGD RSUD Dr. Doris Sylvanus untuk mendapatkan penanganan medis.
***

“Ya Allah terima kasih telah Engkau kirimkan seorang malaikat pendonor mata yang peduli di rumah sakit, disaat-saat terakhir hidupnya untuk Adinda. Limpahkanlah ganjaran surga-Mu kepadanya. Ya Allah, berikanlah kami perasaan takut kepada-Mu yang dapat mencegah kami dari maksiat. Janganlah Engkau jadikan dunia sebagai pokok kerisauan hati kami. Ampuni kami Ya Allah! dengan segala kerendahan hati hamba mohon Ya Allah, bukakanlah suami hamba pintu hidayah-Mu yang Maha mulia wahai dzat Yang Maha menjaga dan Maha berkuasa. Amin!” do’a Anissa setelah sholat tahajjud bersama Adinda dengan linangan air bening di sudut matanya.
“Bunda, besok kita jenguk ayah ya. Adinda rindu dengan ayah. Adinda ingin mengantarkan makanan untuk ayah dan memberi tahu ayah bahwa Adinda sudah dapat melihat.” pinta Adinda tulus.
“Insyaallah!Adinda benar-benar malaikat kecil bunda.” peluk Anissa hangat dan penuh kasih. Adinda tersenyum manis mendengar penuturannya bundanya yang lembut. Dia benar-benar sayang dengan bundanya. “Ya Allah terima kasih segala karunia-Mu atas mata ini, terimalah arwah sang malaikat pendonor yang telah Engkau panggil dengan rahmat-Mu, dan terima kasih telah kau ciptakan seorang wanita yang tegar dan lembut seperti bunda. Adinda sangat bersyukur atas karunia-Mu Ya Allah, wahai dzat yang memberi manfaat.” bisik hati Adinda tulus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar