Perjalanan menuju pernikahan bagi setiap orang pasti berbeda, ada
yang dimudahkan, dan adapula yang harus berjuang terlebih dahulu untuk
mewujudkan penyempurna separuh agama. Dari perjalanan itulah kita menjadi
dewasa dan semakin paham arti kebersaman.
Ada rasa kehampaan yang
mendalam yang menyelimutiku. Sempat ingin menyerah dengan keadaan, dan mulai
mengasingkan diri dari keramaian. Setiap orang yang berjumpa selalu mempertanyakan
hal yang tidak sanggup lagi ku jawab.
“Kapan
menikah?”
“Katanya
sudah tunangan ya?kapan sebar undangan?”
“Eh,
bagaimana kabar hubunganmu dengan .....?”
“Kok
lama sekali kalian ta’aruf, kalian beneran akan menikah kan?”
Pertanyaan itu terus mengiang dimemoriku. Aku benar-benar merasa
stress. Aku ingin berlari hingga ku tak mampu lagi berlari. Aku lelah dengan
semua ini. Siapa yang tidak ingin segera menikah?, aku ingin!, namun orang yang
ku harapkan tidak kunjung memberi kepastian. Terlebih, entah hal apa yang
merasuki pikiran Yanti, calon adik iparku, sehingga begitu tega mengataiku
dengan tuduhan yang tidak benar. Aku menggerogoti harta abangnya? Ya Allah,
pikiran macam apa itu. Aku pun diserang dengan tuduhan memaksa abangnya untuk
cepat menikah dan mengada-ada soal biaya pernikahan yang dijanjikan oleh
kekasih yang kuimpikan sebagai calon imam. Fatalnya calon adik iparku
menginginkan kepastian dariku untuk berpisah, menyudahi penantianku
menyempurnakan separuh agama dengan abangnya. Kejam!
Demi Yang Maha Mengetahui, sungguh tidak pernah sekalipun aku
mengambil harta orang lain dengan berdalih alasan apapun, apalagi membual
pembicaraan dengan pernyataan palsu untuk menagih janji. Apakah salah seorang
tunangan bertanya tentang kejelasan statusnya kepada calon suami dan
keluarganya?bertanya kapan akan tergelar pernikahan yang dijanjikan?menagih
segala janji yang terucap sebelumnya, walau tidak ada hitam diatas
putih?bukankah semua telah dibicarakan saat kedua keluarga telah bertemu?
Kenapa hanya aku yang dipojokkan? Mengapa aku yang dituduh?mengapa aku yang
dicela?
Sang kekasih yang bertitel “abang” itu yang semula berjanji dan
menginginkan pernikahan cepat terlaksana. Ia mengatakan bahwa jangan menunda
pernikahan, karena ia takut dengan hasutan setan yang bisa saja muncul membuat
seseorang berlaku nista, dan aku mengiyakan pemikirannya. Sebelumnya telah
kutanyakan, apakah ia telah memiliki biaya untuk pernikahan, karena dalam
pernikahan mengurus berkas KUA pun harus menggunakan uang.
“Tenang,
abang punya uang yang cukup untuk pernikahan. Jangan pernah khawatir dengan hal
itu. Jangan pernah berpikir untuk menunda pernikahan.”
Ia yang berjanji, ia yang yang menyatakan ingin segera menikah.
Lalu kenapa harus aku yang disalahkan? Kenapa harus aku yang dipojokkan?kenapa
hanya aku yang dimintai keterangan?. Aku bisa apa, aku hanya bisa lunglai
diatas sejadah, menenangkan jerit hatiku dengan berharap Allah berkenan memberikan
kekuatan dan ketabahan.
Ternyata cinta yang terlalu banyak menunda waktu begitu mencabik,
padahal kami terikat bukan dengan pacaran, melainkan dengan pertunangan yang
disaksikan kedua keluarga. Inilah ujian cinta kami untuk mengenal karakter
pasangan dan keluarganya.
Akhirnya aku menyerah, menyerahkan segalanya kepada Allah, biarlah
ia yang menjadi tunanganku yang kemudian berjuang, membuktikan cintanya dengan
mewujudkan mahligai pernikahan. Aku pergi merantau, diamana hanya ada aku dan
keterasinganku di kampung orang, mengais rejeki sembari bermunasabah diri.
***
Adzan subuh membangunkanku. Menyadarkanku dari mimpi buruk yang
telah 4 bulan selalu menghantuiku. Kuambil air wudhu berharap melalui tiap
basuhnya mengobati hatiku yang terluka. Luka tidak diterima baik oleh calon
keluarga menyusutkan nyaliku untuk percaya kepada cinta dan janji manis tetang
berumah tangga. Ada kegetiran yang tersingkap dari teduh tatapan orang tuaku.
Kecemasan atas masa depan anak sulungnya semakin besar. Mereka telah berusaha
maksimal untuk menjelaskan duduk permasalahannya kepada orang tua tunanganku,
namun gagal. Orang tuaku disalahkan atas kejadian ini. Kemarahanku semakin
membara, namun aku tetap tidak beranjak dari kota kecil ini.
Tunanganku masih saja menghubungiku, menginginkanku kembali
kepadanya dan memaafkan kehilafan keluarganya. Telah kukatakan padanya untuk
patuhi saja keinginan keluarganya. Mungkin ada gadis yang lebih baik dan
diinginkan keluarganya sebagai jodoh putra sulungnya, dan aku harus menelan pil
pahit, gadis itu bukan aku.
Gagal membujukku, ia begitu beusaha untuk menghubungi orang tuaku.
Dengan kesungguhan hati ia kembali mengkhitbahku dan dengan ketulusan ia
meminta maaf atas sikap keluarganya yang salah paham. Aku terdiam seribu bahasa
untuk menentukan hatiku. Orang tuaku adalah sosok yang berlapang dada, mereka
memaafkan dan menyerahkan keputusan ditanganku.
“Abah dan mama menilai Rusli orang yang baik, baik agamanya.
Maafkanlah, keluarganya hanya salah paham dan biarlah Allah yang Maha
Mengetahui yang memberikan teguran kepada mereka. Allah Maha Memaafkan,
janganlah Nuri jadi manusia yang sombong dengan tidak memaafkan kesalahan
sesama manusia.” Nasehat mama dengan nada suara yang teduh.
Kembali merenung, kembali menimbang perasaan. Benarkah masih
layakkah perasaan ini kuanggap cinta?suatu keterpaksankah jika aku kembali
padanya?. Kembali kenangan saat pertama kali bertemu dengannya. Senyum
malu-malu saat di pertemukan oleh adiknya Hesti. Hesti merupakan kawan baikku
ketika KKN, mungkin tinggal bersama selama 2 bulan di kampung orang diam-diam
ia mengamati keseharianku, sehingga diam-diam pula ia bercerita kepada abangnya
tentang keseharianku. Ketertarikan dari cerita itulah akhirnya kami bertemu
dipesta ulang tahun Yanti, adik Hesti dan abang. Selang 1 bulan setelah pertemuan
itu kami berkenalan dengan orang tua dan akhirnya tergelarlah acara pertunangan
kami yang sederhana. Sehari setelah pertunangan aku, adikku, dan abah terjadi
kecelakaan lalu lintas, mobil kami ditabrak oleh truk yang supirnya sedang
mengantuk. Pada saat itu wajahku penuh dengan luka. 50 % wajahku penuh dengan
jahitan, rencana pernikahanpun ditunda dan akhirnya petaka itu terjadi, tuduhan
dan sikap sinis keluarganya menghujaniku.
Sebelum petaka itu terjadi, dalam
kondisiku yang sekarat, tunanganku masih setia disampingku. Terus mendampingiku
dari rumah sakit hingga diperbolehkan pulang kerumah. Sungguh, sebagai wanita
aku sangat malu dengan kondisiku. Rasa tidak layak menjadi calon istrinya, maka
cincin emas putih yang melingkar dijari manisku kulepaskan dan kuserahkan
padanya.
“Bang,
ambillah cincin ini. Carilah wanita lain yang lebih baik dariku. Kini aku tidak
sempurna lagi.”
“Kenapa
dek?kenapa tiba-tiba bicara seperti itu?berjanjilah jangan pernah melepas
cincin itu. Cincin ini telah dipasangkan oleh mamaku, jadi tolong jangan pernah
kau lepaskan. Aku tidak melihat fisik dalam mencintai, bagaimanapun kamu dek,
kamu adalah wanita yang kucinta. Kamu yang aku ingini menjadi istriku” katanya
tersedu
Kami berlinang air mata bersama, saling menguatkan sembari meresapi
ujian cinta kami yang pertama sebelum ujian lainnya menguji cinta kami lagi.
Saat itu, aku percaya ia sungguh-sungguh dalam mencintai, dan aku layak untuk
bertahan dengannya yang mau bersamaku dalam suka dan duka.
Aku memandang keluar jendela kamarku,
“Abang telah bersedia bersamaku disaat aku benar-benar terpuruk, ia menerima
kekuranganku dengan sungguh-sungguh. Dia layak untuk dipertahankan. Dia yang
kuingini menjadi imamku. Rekanku dalam membangun sebata demi sebata rumah
disurga dengan membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah” bisik
hatiku
***
Berkas KUA telah terisi, dan tanggal
pernikahan telah ditetapkan. Dengan bahagia aku dan abang bergegas
mempersiapkan acara pernikahan dengan biaya semampu keuangan kami. Aku merasa
lega, akhirnya pernikahan yang kuimpikan akan terlaksana.
Tanpa diduga, kembali ujian masih
menguji cinta kami. Ibu calon mertua meributkan biaya pernikahan yang telah
kami pesan. Padahal telah kami cari paling murah dari seisi kota untuk
persiapan pernikahan. Masih meributkan soal uang yang tak seberapa yang telah
diberinya, padahal jika ingin berhitung, biaya terbesar adalah sumbangan orang
tuaku untuk pelaksanaan acara pernikahan. Kembali terpuruk dengan tuduhan sadis
tersebut, aku kembali merajuk tidak ingin melanjutkan pernikahan walau undangan
telah tercetak dan persiapan lainnya telah terpesan.
Hati siapa yang tidak bersedih,
sebagai seorang calon pengantin, kedamaian dalam memulai kehidupan rumah tangga
dimulai dengan keharmonisan kedua keluarga calon pengantin. Penerimaan dari
keluarga calon suami adalah kuncinnya, karena bagaimanapun aku akan menjadi
anggota keluarganya. Namun dengan sikap pengucilan ini, apakah aku masih
sanggup? Ya Allah, seberapa kuat hatiku menahan luka ini. Begitu pedih tuduhan
dan sikap sinis mereka terhadapku.
Apakah ini perkara rupa?materi?dan
jabatan? Mengapa semua itu menjadi dasar pemikiran picik manusia? Apakah
manusia akan menjadi mulia ketika ia bagus rupa, banyak harta, dan
bertahta?Astagfirullah. haus dengan keindahan dunia hanyalah bersifat
sementara. Merugilah jiwa yang begitu terlena dengan kemilau dunia tanpa
mengenal akhirat sebagai sebenar-benarnya tempat keabadian jiwa.
Kembali abang meminta maaf dan
meminta mohon pemakluman kepadaku dan keluargaku. Ia tidak bisa berlaku banyak
kecuali berjuang sendiri dan tidak memihak siapa-siapa. Kulihat dia memang
gelisah, takut melawan keluarganya, dan tidak rela jika berpisah denganku.
“Sejelek
apapun sikap keluargaku, bagaimanapun juga mereka adalah keluargaku. Jadi,
hanya kemaafan dan pemaklumanmu serta keluargamu yang bisa menyelamatkan
hubungan ini. Aku tidak memihak keduanya, tidak keluargaku ataupun dari
pihakmu, aku hanya ingin memperjuangkan apa yang kuyakini keridhoan Allah ada
dalam niatan setiap insan yang ingin menikah karenaNya. Aku sungguh mencintaimu
dan menginginkanmu menjadi istriku. Rekanku dalam membina keluarga sakinah
mawadah wa rahmah. Oleh karena itu, dengan segala keikhlasanmu, terimalah
cintaku dengan segala kekurangannya.” Pernyataannya dengan penuh kesenduan.
Aku harus bagaimana? Ada pemuda yang
baik agamanya, setia, dan bersungguh ingin menikah karena Allah , tidak malu
bersimbah air mata dengan penuh kesungguhan meminta kemaafan, bagaimana bisa
hatiku sekeras baja?aku melunak, dan kesungguhannya membuka keikhlasanku menerimanya.
Aku dan dia menikah tepat di 22 Ramadhan 1436 H di KUA berwalikan ayah
kandungku, tepat 2 tahun setelah perkenalan kami. Kebahagiaan sederhana
pernikahan kami mendulang do’a yang banyak dari para saudara. Keluarga abang
yang sempat tidak ingin berhadir pada acara akad nikah, alhamdulillah ikut berhadir
menyaksikan pernikahan kami. Lengkap rasanya kebahagiaan hari itu. Dimana
tangan ayahku sendiri yang menyerahkan putri sulungnya kepada pria yang
menikahiku.menggetarkan Arsy dengan niatan ingin lebih taat kepadaNya.
Sungguh ijab kabul itu merupakan mitsqan ghalizan yang pintu
gerbang kebahagiaan kami. Rasanya perjuangan selama ini untuk menikah tidaklah
sia-sia. Lika-liku ujian yang telah terlewati bagaikan untaian tasbih yang tak
kunjung berakhir mendewasakan cinta kami, bukan hanya sekedar jatuh cinta.
Cinta kami adalah membangun cinta, sehidup sesurga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar