Minggu, 27 November 2016

TASBIH CINTA




 Perjalanan menuju pernikahan bagi setiap orang pasti berbeda, ada yang dimudahkan, dan adapula yang harus berjuang terlebih dahulu untuk mewujudkan penyempurna separuh agama. Dari perjalanan itulah kita menjadi dewasa dan semakin paham arti kebersaman.
 Ada rasa kehampaan yang mendalam yang menyelimutiku. Sempat ingin menyerah dengan keadaan, dan mulai mengasingkan diri dari keramaian. Setiap orang yang berjumpa selalu mempertanyakan hal yang tidak sanggup lagi ku jawab.
“Kapan menikah?”
“Katanya sudah tunangan ya?kapan sebar undangan?”
“Eh, bagaimana kabar hubunganmu dengan .....?”
“Kok lama sekali kalian ta’aruf, kalian beneran akan menikah kan?”
Pertanyaan itu terus mengiang dimemoriku. Aku benar-benar merasa stress. Aku ingin berlari hingga ku tak mampu lagi berlari. Aku lelah dengan semua ini. Siapa yang tidak ingin segera menikah?, aku ingin!, namun orang yang ku harapkan tidak kunjung memberi kepastian. Terlebih, entah hal apa yang merasuki pikiran Yanti, calon adik iparku, sehingga begitu tega mengataiku dengan tuduhan yang tidak benar. Aku menggerogoti harta abangnya? Ya Allah, pikiran macam apa itu. Aku pun diserang dengan tuduhan memaksa abangnya untuk cepat menikah dan mengada-ada soal biaya pernikahan yang dijanjikan oleh kekasih yang kuimpikan sebagai calon imam. Fatalnya calon adik iparku menginginkan kepastian dariku untuk berpisah, menyudahi penantianku menyempurnakan separuh agama dengan abangnya. Kejam!
Demi Yang Maha Mengetahui, sungguh tidak pernah sekalipun aku mengambil harta orang lain dengan berdalih alasan apapun, apalagi membual pembicaraan dengan pernyataan palsu untuk menagih janji. Apakah salah seorang tunangan bertanya tentang kejelasan statusnya kepada calon suami dan keluarganya?bertanya kapan akan tergelar pernikahan yang dijanjikan?menagih segala janji yang terucap sebelumnya, walau tidak ada hitam diatas putih?bukankah semua telah dibicarakan saat kedua keluarga telah bertemu? Kenapa hanya aku yang dipojokkan? Mengapa aku yang dituduh?mengapa aku yang dicela?
Sang kekasih yang bertitel “abang” itu yang semula berjanji dan menginginkan pernikahan cepat terlaksana. Ia mengatakan bahwa jangan menunda pernikahan, karena ia takut dengan hasutan setan yang bisa saja muncul membuat seseorang berlaku nista, dan aku mengiyakan pemikirannya. Sebelumnya telah kutanyakan, apakah ia telah memiliki biaya untuk pernikahan, karena dalam pernikahan mengurus berkas KUA pun harus menggunakan uang.
“Tenang, abang punya uang yang cukup untuk pernikahan. Jangan pernah khawatir dengan hal itu. Jangan pernah berpikir untuk menunda pernikahan.”
Ia yang berjanji, ia yang yang menyatakan ingin segera menikah. Lalu kenapa harus aku yang disalahkan? Kenapa harus aku yang dipojokkan?kenapa hanya aku yang dimintai keterangan?. Aku bisa apa, aku hanya bisa lunglai diatas sejadah, menenangkan jerit hatiku dengan berharap Allah berkenan memberikan kekuatan  dan ketabahan.
Ternyata cinta yang terlalu banyak menunda waktu begitu mencabik, padahal kami terikat bukan dengan pacaran, melainkan dengan pertunangan yang disaksikan kedua keluarga. Inilah ujian cinta kami untuk mengenal karakter pasangan dan keluarganya.
Akhirnya aku menyerah, menyerahkan segalanya kepada Allah, biarlah ia yang menjadi tunanganku yang kemudian berjuang, membuktikan cintanya dengan mewujudkan mahligai pernikahan. Aku pergi merantau, diamana hanya ada aku dan keterasinganku di kampung orang, mengais rejeki sembari bermunasabah diri.
***
Adzan subuh membangunkanku. Menyadarkanku dari mimpi buruk yang telah 4 bulan selalu menghantuiku. Kuambil air wudhu berharap melalui tiap basuhnya mengobati hatiku yang terluka. Luka tidak diterima baik oleh calon keluarga menyusutkan nyaliku untuk percaya kepada cinta dan janji manis tetang berumah tangga. Ada kegetiran yang tersingkap dari teduh tatapan orang tuaku. Kecemasan atas masa depan anak sulungnya semakin besar. Mereka telah berusaha maksimal untuk menjelaskan duduk permasalahannya kepada orang tua tunanganku, namun gagal. Orang tuaku disalahkan atas kejadian ini. Kemarahanku semakin membara, namun aku tetap tidak beranjak dari kota kecil ini.
Tunanganku masih saja menghubungiku, menginginkanku kembali kepadanya dan memaafkan kehilafan keluarganya. Telah kukatakan padanya untuk patuhi saja keinginan keluarganya. Mungkin ada gadis yang lebih baik dan diinginkan keluarganya sebagai jodoh putra sulungnya, dan aku harus menelan pil pahit, gadis itu bukan aku.
Gagal membujukku, ia begitu beusaha untuk menghubungi orang tuaku. Dengan kesungguhan hati ia kembali mengkhitbahku dan dengan ketulusan ia meminta maaf atas sikap keluarganya yang salah paham. Aku terdiam seribu bahasa untuk menentukan hatiku. Orang tuaku adalah sosok yang berlapang dada, mereka memaafkan dan menyerahkan keputusan ditanganku.
“Abah dan mama menilai Rusli orang yang baik, baik agamanya. Maafkanlah, keluarganya hanya salah paham dan biarlah Allah yang Maha Mengetahui yang memberikan teguran kepada mereka. Allah Maha Memaafkan, janganlah Nuri jadi manusia yang sombong dengan tidak memaafkan kesalahan sesama manusia.” Nasehat mama dengan nada suara yang teduh.
Kembali merenung, kembali menimbang perasaan. Benarkah masih layakkah perasaan ini kuanggap cinta?suatu keterpaksankah jika aku kembali padanya?. Kembali kenangan saat pertama kali bertemu dengannya. Senyum malu-malu saat di pertemukan oleh adiknya Hesti. Hesti merupakan kawan baikku ketika KKN, mungkin tinggal bersama selama 2 bulan di kampung orang diam-diam ia mengamati keseharianku, sehingga diam-diam pula ia bercerita kepada abangnya tentang keseharianku. Ketertarikan dari cerita itulah akhirnya kami bertemu dipesta ulang tahun Yanti, adik Hesti dan abang. Selang 1 bulan setelah pertemuan itu kami berkenalan dengan orang tua dan akhirnya tergelarlah acara pertunangan kami yang sederhana. Sehari setelah pertunangan aku, adikku, dan abah terjadi kecelakaan lalu lintas, mobil kami ditabrak oleh truk yang supirnya sedang mengantuk. Pada saat itu wajahku penuh dengan luka. 50 % wajahku penuh dengan jahitan, rencana pernikahanpun ditunda dan akhirnya petaka itu terjadi, tuduhan dan sikap sinis keluarganya menghujaniku.
            Sebelum petaka itu terjadi, dalam kondisiku yang sekarat, tunanganku masih setia disampingku. Terus mendampingiku dari rumah sakit hingga diperbolehkan pulang kerumah. Sungguh, sebagai wanita aku sangat malu dengan kondisiku. Rasa tidak layak menjadi calon istrinya, maka cincin emas putih yang melingkar dijari manisku kulepaskan dan kuserahkan padanya.
“Bang, ambillah cincin ini. Carilah wanita lain yang lebih baik dariku. Kini aku tidak sempurna lagi.”
“Kenapa dek?kenapa tiba-tiba bicara seperti itu?berjanjilah jangan pernah melepas cincin itu. Cincin ini telah dipasangkan oleh mamaku, jadi tolong jangan pernah kau lepaskan. Aku tidak melihat fisik dalam mencintai, bagaimanapun kamu dek, kamu adalah wanita yang kucinta. Kamu yang aku ingini menjadi istriku” katanya tersedu
Kami berlinang air mata bersama, saling menguatkan sembari meresapi ujian cinta kami yang pertama sebelum ujian lainnya menguji cinta kami lagi. Saat itu, aku percaya ia sungguh-sungguh dalam mencintai, dan aku layak untuk bertahan dengannya yang mau bersamaku dalam suka dan duka.
            Aku memandang keluar jendela kamarku, “Abang telah bersedia bersamaku disaat aku benar-benar terpuruk, ia menerima kekuranganku dengan sungguh-sungguh. Dia layak untuk dipertahankan. Dia yang kuingini menjadi imamku. Rekanku dalam membangun sebata demi sebata rumah disurga dengan membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah” bisik hatiku
***
            Berkas KUA telah terisi, dan tanggal pernikahan telah ditetapkan. Dengan bahagia aku dan abang bergegas mempersiapkan acara pernikahan dengan biaya semampu keuangan kami. Aku merasa lega, akhirnya pernikahan yang kuimpikan akan terlaksana.
            Tanpa diduga, kembali ujian masih menguji cinta kami. Ibu calon mertua meributkan biaya pernikahan yang telah kami pesan. Padahal telah kami cari paling murah dari seisi kota untuk persiapan pernikahan. Masih meributkan soal uang yang tak seberapa yang telah diberinya, padahal jika ingin berhitung, biaya terbesar adalah sumbangan orang tuaku untuk pelaksanaan acara pernikahan. Kembali terpuruk dengan tuduhan sadis tersebut, aku kembali merajuk tidak ingin melanjutkan pernikahan walau undangan telah tercetak dan persiapan lainnya telah terpesan.
            Hati siapa yang tidak bersedih, sebagai seorang calon pengantin, kedamaian dalam memulai kehidupan rumah tangga dimulai dengan keharmonisan kedua keluarga calon pengantin. Penerimaan dari keluarga calon suami adalah kuncinnya, karena bagaimanapun aku akan menjadi anggota keluarganya. Namun dengan sikap pengucilan ini, apakah aku masih sanggup? Ya Allah, seberapa kuat hatiku menahan luka ini. Begitu pedih tuduhan dan sikap sinis mereka terhadapku.
            Apakah ini perkara rupa?materi?dan jabatan? Mengapa semua itu menjadi dasar pemikiran picik manusia? Apakah manusia akan menjadi mulia ketika ia bagus rupa, banyak harta, dan bertahta?Astagfirullah. haus dengan keindahan dunia hanyalah bersifat sementara. Merugilah jiwa yang begitu terlena dengan kemilau dunia tanpa mengenal akhirat sebagai sebenar-benarnya tempat keabadian jiwa.
            Kembali abang meminta maaf dan meminta mohon pemakluman kepadaku dan keluargaku. Ia tidak bisa berlaku banyak kecuali berjuang sendiri dan tidak memihak siapa-siapa. Kulihat dia memang gelisah, takut melawan keluarganya, dan tidak rela jika berpisah denganku.
“Sejelek apapun sikap keluargaku, bagaimanapun juga mereka adalah keluargaku. Jadi, hanya kemaafan dan pemaklumanmu serta keluargamu yang bisa menyelamatkan hubungan ini. Aku tidak memihak keduanya, tidak keluargaku ataupun dari pihakmu, aku hanya ingin memperjuangkan apa yang kuyakini keridhoan Allah ada dalam niatan setiap insan yang ingin menikah karenaNya. Aku sungguh mencintaimu dan menginginkanmu menjadi istriku. Rekanku dalam membina keluarga sakinah mawadah wa rahmah. Oleh karena itu, dengan segala keikhlasanmu, terimalah cintaku dengan segala kekurangannya.” Pernyataannya dengan penuh kesenduan.
            Aku harus bagaimana? Ada pemuda yang baik agamanya, setia, dan bersungguh ingin menikah karena Allah , tidak malu bersimbah air mata dengan penuh kesungguhan meminta kemaafan, bagaimana bisa hatiku sekeras baja?aku melunak, dan kesungguhannya membuka keikhlasanku menerimanya. Aku dan dia menikah tepat di 22 Ramadhan 1436 H di KUA berwalikan ayah kandungku, tepat 2 tahun setelah perkenalan kami. Kebahagiaan sederhana pernikahan kami mendulang do’a yang banyak dari para saudara. Keluarga abang yang sempat tidak ingin berhadir pada acara akad nikah, alhamdulillah ikut berhadir menyaksikan pernikahan kami. Lengkap rasanya kebahagiaan hari itu. Dimana tangan ayahku sendiri yang menyerahkan putri sulungnya kepada pria yang menikahiku.menggetarkan Arsy dengan niatan ingin lebih taat kepadaNya.
Sungguh ijab kabul itu merupakan mitsqan ghalizan yang pintu gerbang kebahagiaan kami. Rasanya perjuangan selama ini untuk menikah tidaklah sia-sia. Lika-liku ujian yang telah terlewati bagaikan untaian tasbih yang tak kunjung berakhir mendewasakan cinta kami, bukan hanya sekedar jatuh cinta. Cinta kami adalah membangun cinta, sehidup sesurga.
           



Tidak ada komentar:

Posting Komentar