Senin, 04 Oktober 2010

Tangis Bisu Ayah


Daun pepohonan bergerak berisik. Bergoyang, tersentuh hembusan angin darat yang mulai berpancaroba dengan angin laut. Kokok ayam jago bersahutan dengan nyaringnya, seakan berteriak bahwa “malam telah usai, dan sambutlah pagi yang menggairahkan!”. Daun-daun yang menghijau tertunduk malu, sarat dengan butiran titik-titik bening di permukaannya. Kedamaian itu menyapa sang mentari yang mulai merangkak naik menyinari bumi dengan kehangatannya yang sempurna dan memberi warna-warni yang penuh pada bulatnya embun, sebelum jatuh dan terhisap pasir-pasir yang garang kehausan.
Jauh sebelum segala proses alam itu menyapa, di sebuah rumah petak berdinding kayu ulin dan berlantai kayu yang serupa, telah ramai. Menunjukkan di mulainya aktifitas di pagi buta. Saat semua mata manusia lekat dan merapat. Enggan berpisah dengan selimut, bantal dan guling. Raga manusia kala itu benar-benar terjerat erat, tidak bergeser seincipun dari kasur tempatnya terlelap meskipun suara surga memanggil untuk menghadap-Nya. Meninggalkan segala jeruji setan untuk tetap terlelap meraih bunga mimpi yang makin di bumbui keindahan-keindahan maya, dan menggantinya dengan sujud kepada sang penguasa nadi kehidupan, Aza wajalla.
Sholat tahajjud di gelar satu keluarga pukul 02.30 dini hari. Imam sholat itu adalah seorang pria yang sudah cukup berumur yang di sebut ” ayah” oleh empat putra putrinya. Sang ibu bersyaf rata bersama ketiga putrinya di belakang sang suami dan seorang anak laki-lakinya. Jama’ah perindu kalamullah itu begitu khusyuk menjalan perintah sang khaliq dengan meresapi setiap gerakan sholat. Wajahnya yang mulai menua tidak sedikitpun menghalangi pancaran cahaya bijaksana dan pekerja keras dalam ketenangan geraknya. Guratan-guratan keriput di wajahnya menjadi bukti betapa umur telah menggerogoti raganya. Kulitnya yang coklat kemerahan membalut tubuh yang berporsi sedang, melambangkan betapa keras perjuangannya selama ini. Mereka bertasbih dengan mengagungkan asma-asma pencipta semesta beserta isinya. Mereka benar-benar terlena dalam kesyahduan cinta kepada-Nya. Subuh pun menjelang, mereka berdiri lagi dan siap bercinta dengan-Nya kembali dalam setiap gerak sholat dengan kekhusyu’an sang insan dihadapan gusti Allah.

”Bu, ayah berangkat narik penumpang ya. Sekalian ngantar anak-anak pergi ke sekolah. Do’akan ayah agar dapat penumpang yang banyak supaya dapat menyetor uang lebih banyak kepada istriku tercinta hari ini”. Pamit pak Arif kepada istrinya sambil tersenyum genit. Sang istri tersipu malu sambil mencium punggung tangan suaminya dengan penuh kasih.
”Insyaallah, amin Ya Rabb! rejeki di tangan Allah dan kita berkewajiban untuk mencarinya dengan cara yang di ridhoi-Nya di muka bumi ini. Semoga Engkau limpahkan rejeki yang halal dan barokah kepada suamiku hari ini. Amin! Hati-hati di jalan ya”. Jawab bu Iffah lembut. Keempat anak-anaknya pun bergantian menciumi punggung tangan sang ayah dan ibu secara bergantian setelah itu. Semuanya tersenyum bahagia.

”Assalamua’alaikum .....!!!”. Kata anak anak berserta suaminya serempak dengan nyaring.
”Walaikum’salam”. Jawab bu Iffah tenang sambil mengeleng-gelengkan kepala melihat wajah ceria semua malaikat hatinya hari ini. Jilbab panjangnya berkibar perlahan di mainkan angin yang lembut.


Bumi terus berevolusi dan berotasi sesuai dengan ketetapan Allah SWT. Tanpa membangkang sedikitpun. Tidak seperti manusia yang mudah sekali khilaf dalam menjalankan perintah-Nya.
Segalanya berlalu dengan cepat, sedangkan kebutuhan semakin meningkat. Kenaikan harga kebutuhan pokok semakin melejit naik seperti roket yang siap mengambang di angkasa. Kehidupan semakin pelik bagi masyarakat lapisan menengah kebawah. Kemiskinan, kebodohan, buruknya kesehatan, krisis moral dan tingginya tindak kriminalitas menjadi perhatian utama pemerintah Indonesia. Namun apa yang malah mereka perbuat? Para tokoh-tokoh terhormat yang mengaku sebagai ”wakil rakyat” semakin membuat kondisi semakin sekarat dengan melakukan tindakan KKN. Mereka menyebut dirinya orang-orang terpelajar, tapi sungguh mengecewakan. Mereka dengan wajah tidak bersalah melakukan perilaku yang kurang ajar. Dimana letak posisi pemimpin didiri mereka?mengapa meteri menggelapkan jiwa dan malah tertawa saat linangan air mata kelaparan dan keterpurukan membayangi rakyat jelata?dimanakah hati nurani terpatri kini? Hanya renung yang dapat jernihkan hati.

”Ayah, ibu sudah tidak tahu lagi bagaimana mengelola pengeluaran sehari-hari dengan hemat. Rasanya semua cara telah ibu lakukan untuk meminimalisir pengeluaran, tapi sia-sia. Padahal semua anak-anak kita bersekolah dan setiap bulannya SPP mereka harus di bayar. Apakah kita harus mengorbankan salah satu anak kita untuk berhenti sekolah, yah?keuangan kita semakin menipis, bahkan untuk makan sehari-haripun rasanya tidak mencukupi. Ibu benar-benar bingung. Sungguh ini kondisi paceklik yang mencekik”. Keluh bu Iffah tertunduk letih. Wajahnya muram gambaran beratnya perasaan dan pikiran yang mengekangnya.

Pak Arif mendesah sesaat lalu berucap seraya memandang tegas sang istri yang sedang gelisah menanggung beratnya hidup dengan sabar.

”Inalillahi wa inna lillahi rojiun. La haula wala kuwata illabillahilali’il azim. Sabarlah bu, anggap ini ujian dari Allah kepada hambanya. Kita hanya bisa berusaha dan bertawakal atas keketapan-Nya. Menanggapi usul ibu, ayah rasa itu bukan solusi terbaik dari masalah ini. Malah dengan memberhentikan salah satu anak kita dari sekolahnya akan menambah masalah baru bagi kita. Coba ibu pikir, kita ini tidak punya pangkat, dan materi yang patut di banggakan. Kita hanya lulusan SMP yang berwawasan minim. Padahal persaingann semakin ketat di segala bidang. Globalisasi semakin merajai dunia. Selain ilmu apa lagi yang bisa melawan semua itu?hanya ilmu yang dapat mengangkat derajat seorang manusia di hadapan Allah dan makhluk-Nya. Haruskah kita mengulang nasib kita yang tersingkir dari ketidakmampuan bernafas lega dalam mengarungi hidup yang layaknya seperti rimba saja untuk anak-anak kita?tidak bu, ayah tidak akan membiarkan hal itu. Anak-anak kita harus tetap mengenyam pendidikan yang tinggi hingga mereka dapat berkehidupan yang layak seperti orang-orang lainnya. Cukup kita yang merasakan kepedihan. Ayah ingin kelak mereka dapat tersenyum bahagia atas kesuksesan yang di raihnya”. Jelas Pak Arif panjang lebar seraya merangkul sang istri mesra.
”Maafkan ibu, yah. Ibu terlalu mudah putus asa dan tidak bisa berpikir jernih untuk solusi masalah ini. Ibu benar-benar malu atas rapuhnya ideologi yang ibu anut selama ini. Ibu, tidak pantas jadi ibu yang baik untuk teladan anak-anak”. Ibu Iffah mulai terisak menyadari kesalahannya.
”Kita saling introfeksi diri. Ayah juga andil alih dalam masalah ini. Mulai besok ayah akan mulai menarik penumpang lebih banyak lagi, bila perlu ayah akan mencari pekerjaan lain untuk menambah penghasilan kita. Ibu do’akan saja, semoga ridha Allah terlimpah kepada kita sehingga jalan mencari rejeki yang halal dan berlimpah terbuka lebar. Ibu jangan menangis lagi dong. Malu kan kalau di lihat anak-anak. Senyum ya? Nah, gitu kan cantik”. Tanggap Pak Arif sedikit merayu. Bu Iffah pun tersipu malu. Merah dadu di pipinya kini tidak dapat di tutupi lagi. Pak arif semakin gemas melihat tingkah istrinya itu. Dia sungguh mencintai istrinya. Tidak pernah sedikitpun terbersit di hatinya untuk berpaling dan membagi ke bahagiaanya dengan cinta hawa yang yang lain.


”Para peserta atletik jarak 1500 meter tingkat provinsi Kalimantan Tengah di harap bersiap-siap di garis start”. Suara panitia lomba memalui pengeras suara membahana di lapangan sanaman mantikey.

Fayza mendekati tepat yang di maksud. 023 adalah nomor dada lari jarak jauh menengah yang di ikutinya. Fayza menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan melalui mulut untuk mengatur pernapasan yang sedikit terganggu oleh debaran jantung yang menggebu di dadanya. Tubuhnya yang berporsi sedang sedikit merasa ciut melihat lawan-lawannya kini. Tinggi gadis itu hanya 153 cm, jauh dari rival-rivalnya yang tingginya sekitar 165 cm. Pesimis mulai mengerogoti rasa percaya dirinya saat ini. Dia merasa sudah kalah sebelum bertanding.
”Tidak!aku tidak boleh seperti ini aku harus bisa. Aku akan mempersembahkan kemenangan ini kepada ayah dan ibuku. Aku ingin mereka tersenyum bangga atas prestasi yang ku raih dengan usahaku sendiri. Bismillahirrohmanirrohim. Aku berjuang karena Engkau Ya Allah, bantulah hambamu ini. Amin!”.suara batinnya menguatkan.
Fayza mempersiapkan diri sebaik mungkin di sela waktu yang semakin menghimpit. Sesekali dia menebar pandang dan berkenalan dengan peserta lain. ”Walaupun mereka adalah rivalku saat ini tapi mereka adalah keluarga bagiku. Tiada salahnya untuk menambah teman dan menjaga silaturahim. Berta’aruf itu hal yang menyenangkan”. Bisiknya membatin.
Satu persatu nomor dada peserta atletik jarak jauh menengah putri di panggil. Mereka mengerahkan segala kemampuan yang di miliki seoptimal mungkin, begitupun Fayza yang kini masih terengah-engah mengatur nafas yang hampir putus. Fayza tidak menyangka ternyata dirinya menang di penyisihan dan semi final. Kini dia sedang di beri pengarahan lebih serius dari pelatihnya. Fayza menyimak semua penuturan Pak Subaryo dengan patuh. Dia sungguh berterima kasih atas kedisiplinan yang di terapkan pelatihnya saat latihan lari sebelum lomba sehingga berbuah kelincahan, kegesitan, dan kecepatan berlari yang mengagumkan dari tubuh mungil Fayza.

”Para peserta putri atletik jarak 1500 meter yang masuk final agar mempersiapkan diri di depan garis start”. Sekali lagi suara panitia lomba membahana memberikan komandonya lagi melalui pengeras suara.
” Peserta nomor dada 003, 015, 017,023, dan 053 bersiap di garis start. Apakah semua lengkap?”. Absen salah satu panitia mengecek kehadiran peserta lomba.
”Ya”. Jawab peserta serempak.
”Baiklah, siap.......bersedia,....ya…!!!!” aba-aba juri dengan nyaring kepada seluruh peserta atletik yang masul final seraya menembakkan pistol gas ke udara bebas. Para peserta lari yang berancang-ancang dengan posisi start berdiri mengayunkan kaki secepat mungkin menjauhi garis start. Jauhnya jarak yang di tempuh mengetirkan langkah-langkah gesit para peserta. Mereka saling mendahului satu sama lain. Fayza merasakan kakinya tiba-tiba keram saat jarak tinggal 500 meter lagi. Terasa berat mentuk mengayunkan kaki lebih cepat.kecepatan larinya mulai berkurang, wajahnya memerah menahan sakit. Sorak sorai para penonton seakan menjadi gerakan slow action seperti di film-film baginya. Pandangannya mulai mengabur. Kepalanya sakit berdenyut.
”Ya Allah, hamba bukanlah siapa-siapa. Hamba bukanlah anak yang pintar dalam akademik seperti adik laki-lakiku Hasan, bukan pula anak yang memiliki bakat dalam seni vokal seperti adikku Zahra, dan bukan pula anak yang memiliki paras yang cantik seperti Amani adik bungsu ku. Tapi, aku hanya punya semangat dan daya bertahan dalam berjuang di jalan-Mu Ya Allah. Kiranya hanya itu kemampuan yang hamba punya sebagai anak sulung. Hamba hanya ingin ayah dan ibu tersenyum bangga kepadaku. Hanya itu, maka tolong kuatkan hamba. Hamba hanya percaya kepada kekuasaan-Mu Ya Allah”. Jerit batin Fayza di sela larinya.
Allah Maha Tahu dan Maha Kuasa. Allah akan menolong hambanya yang dalam kesusahan karena ingat kepada-Nya dalam suka maupun duka. Keajaibanpun terjadi, rasa yang begitu menekan laju lari Fayza hilang seketika. Seolah mendapat kekuatan baru Fayza berlari sekuat tenaga yang tersisa dengan terus-menerus bertasbih di dalam hatinya. Fayza melewati garis finis secepat kilat menyapu gelapnya hari yang temaram. Fayza menjadi juara pertama dalam atletik jarak 1500 meter katagoro putri di provinsi Kalimantan Tengah dan berhak mengikuti PON di DKI. Jogyakarta. Beasiswa dan kesempatan masuk universitas favorit di kota cantik Palangka Raya berada di genggaman Fayza. Semua penonton bersorak-sorai menyambut pemenang lomba atletik putri hari ini. Pak Subaryo pun hanya dapat menepuk-nepuk bangga punggung Fayza yang basah dengan keringat.


Fayza berlari riang melewati gang-gang kecil menuju rumahnya. Dia tidak peduli tatapan heran para tetangga melihat perilaku Fayza yang pulang membawa tropy besar keemasan di tangannya dengan butir bening di sudut matanya yang bergelayut hangat meleleh di pipi yang memerah. Dia sungguh bahagia dan sangat bersyukur kepada Allah. Ibunya tidak kalah terkejut dan terharu atas prestasi yang dibawa anaknya. Hanya permata yangjatuh bergeming di sela senyum bangga kepada putri sulungnya itu.
Semua larut dalam kebahagiaan yang tiada tara di hadapan sang Khaliq. Mereka bersujud dalam remangnya matahari yang kini berganti dengan teduh sinar sang rembulan dan kerlap-kerlip bintang dimalam kelam.
Pukul 00.30 Bu Iffah tetap terjaga dengan perasaan gelisah.” Apa gerangan yang terjadi pada suamiku saat ini? Apa ada sesuatu yang terjadi pada suamiku Ya Allah? Tidak biasanya suamiku tidak pulang selarut ini. Lindungi dia Ya Allah”.Runtuk Bu Iffah galau di dalam hati.anak-anaknya tertidur pulas berjajar di kasur yang tipis. Mereka terlihat bahagia, bersih, dan tidak berdosa. Pemandangan ini membuat hati Bu Iffah sedikit tenang. ”Mereka sudah besar rupanya. Akh, terlalu indah mereka menghiasi hidup kami. Engkau terlalu baik Ya Allah menitipkan malaikat-malaikat kecil ini di genggaman kami. Terima kasih Ya Allah”. Sua Bu Iffah setengah berbisik, takut suaranya membangunkan anak-anaknya yang menarik nafas teratur. Bu iffah duduk di kursi tua yang terlihat kusam warnanya. Dia lelah sekali, suara detik-detik jam dindingpun mulai menina bobo hati yang masih cemas menunggu kedatangan suaminya. Diapun terlelap dalam batin yang terus berharap.
”Astagfirullah, sudah jam berapa ini?”. Panik Bu Iffah sambil melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 04.40 WIB. Segera di bangunkan anaknya dengan lembut untuk segera mengambil air wudhu mengerjakan sholat subuh. Semuanya bangun dengan patuh menghadap sang penguasa nadi kehidupan, Azza wa Jalla.


”Ayah, mengapa kau pergi secepat ini?! Ayah tidak sayang lagi ya dengan Amani, kakak dan ibu?” teriak Amani nyaring dengan cucuran air mata sambil menggoncangkan raga yang terbujur kaku di hadapanya. Pak Arif telah di panggil Yang Kuasa.

Ruangan UGD Dr. Doris Syilfanus yang bercat putih dan semerbak bau obat menyengat indera mereka. Hasan dan Zahra mencoba menenangkan sikap Amani yang tidak terkendali dengan sayatan luka di hatinya yang menggangga lebar. Sungguh mereka tidak tahan berada di kondisi ini. Fayza pun hanya dapat segugukan menggigit bibir kuat-kuat agar tangisnya tidak meledak. Bagaimanapun dia adalah anak sulung yang harus tegar dalam kondisi apapun, apalagi kini dia tengah memeluk ibunya hangat mengantikan bahu ayahnya yang menjadi sandaran disaat ibunya sedih. Ibunya lemas tidak kuat menahan jiwanya yang meronta, hingga air matanya kini sudah kering, segersang gurun tanpa oase. Tatapannya kosong.terlalu sakit kenyataan ini menampar relung jiwa keluarga ini.
Pak Arif meninggal saat dia hendak pulang ke rumahnya. Senja saat itu merupakan eksotisme yang dia lihat terakhir kalinya di muka bumi. Sebuah truk melaju ugal-ugalan di jalan dan menabrak mobil angkutan Pak Arif dengan kasar. Pak Arif terjengkang berlumuran darah. Suara adzan magrib kala itu adalah suara terindah yang di dengar Pak Arif saat dia menghadap sang pemilik jiwa dan raga semua manusia. Foto keluarga yang sederhana setia terpajang di mobil angkutannya kini terpecah di samping raga Pak Arif yang tidak bernyawa lagi. Foto itu sekarang ada di tangan Fayza, foto keluarga yang berbercak darah itu menjadi wasiat terakhir dari Ayahnya untuknya dan adik-adiknya. Di balik foto itu ada tulisan sederhana yang merenyuhkan jiwanya. Bukti tulus perjuangan terakhir impian ayah terhadap pendidikan anak-anaknya.

”Berjuanglah demi masa depanmu anakku. Raihlah impianmu dengan ilmu dan takwa kepada-Nya. Ayah dan ibu selalu mendoakanmu”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar